Suatu pagi di sebuah kampung sekelompok ibu-ibu berkerumun sedang belanja sayur sambil ngobrol seru, nampaknya wajah mereka sangat serius. Asyik sekali, pikir saya. Pasti sedang menggosipkan artis sinetron.
Namun kalau diperhatikan dengan lebih seksama, dari raut muka mereka tampak kesal sekali. Diam-diam saya mendekat. Bukan bermaksud menguping tetapi penasaran saja dengan tema yang sedang mereka bicarakan.
Ternyata mereka sedang ngobrol tentang tayangan berita sebuah stasiun TV tentang kasus penganiayaan di IPDN. Berikut sedikit petikan pembicaraan seru dan meledak-ledak yang bisa saya rekam dari para "pengamat berita" ini.
"Tuh kan apa gue bilang IPDN itu, Institut Penganiayaan Dalam Negeri! Masa anak orang dihabisin hanya gara-gara telat datang ke acara yang nggak jelas, dasar gak tau diri!"
"Bukan Nyak tapi IPDN itu, Institut Pembantaian Dalam Negeri!" Sahut ibu penjual sayur tak mau kalah.
"Kalo menurut saya sih masih jadi pelajar aja udah kayak gitu, ntar kalo udah jadi pejabat pasti jadi diktator. Makanya IPDN itu cocoknya Institut Pengkaderan Diktator Negara!" Seru ibu yang sedari tadi membolak-balikan sayur bayam.
"Betul juga Jeng Neni tapi gue paling gak suka sama kelakuan mereka yang suka maen keroyok kalo berani kenapa nggak satu lawan satu tuh kayak di pilem koboi makanya dinamain aja Institut Paling Demen Ngeroyok!" Seru ibu gendut itu gemas sambil membanting labu siam diantara sayuran yang makin berserakan.
"Iya betul tuh sekalian aja dinamain Ikatan Praja Doyan Nonjok!" Sambar bu RT sambil bersungut-sungut. "IPDN, Injak Pukul Dorong. Nah, mati!” Celetuk ibu bertubuh kerempeng itu sambil praktekkan gaya silatnya.
"Inginnya Pendidikan Dapetnya Nisan nah itulah IPDN kasihan orang tua yang udah susah payah kirim anaknya kesana pulang-pulang bikin batu nisan," tukas Bu Neni makin kesal.
"Yang kayak gini nih pasti kerjaan para pejabat yang gak punya tanggung jawab dan wawasan kebangsaan, mestinya kan mereka sebagai pengontrol dan pengawas tetapi kenapa korban udah berjatuhan kayak gini kok didiemin aja dari dulu, kayaknya sih sengaja biar budaya pejabat junior harus takut dengan senior tetap hidup, kan ntar gampang diajak kongkalikong kali ya? Namanya juga IPDN, Ideologi Pejabat Durjana Negara,” sahut ibu setengah baya berkerudung itu.
"Yah IPDN, Inilah Pendidikan Dalam Negeri kita. Pantas aja korupsi nggak habis-habis wong mentalnya aja udah kayak mafia."
Tiba-tiba nenek tua yang sedari tadi diam saja tergopoh-gopoh keluar dari kerumunan menuju kearah rumah bu RT, sambil iseng saya pun bertanya, "Nek kalo menurut nenek IPDN itu apa?"
Nenek itu melotot kesal kearahku sambil berteriak, "Ingin Pipis Dulu Nak!"
Ups! Mungkin nenek tersebut di atas tidak tahu apa makna kata-katanya saat suatu kejadian yang sedang hangat tersebut dibicarakan. Kalau ingin pipis yah karena memang pada saat itu sang nenek sedang kebelet pipis. Tapi pipis atau buang air kecil bisa diartikan dari beberapa segi. Dari segi kesehatan hal tersebut merupakan proses metabolisme tubuh yang wajar sementara dari segi psikis, pipis bisa terjadi karena rasa takut dan was-was yang berlebihan yang dalam hal ini takut pada dunia pendidikan kita dan was-was bagaimana masa depan dunia pendidikan kita nantinya.
Sebuah refleksi yang boleh jadi menyudutkan untuk dunia pendidikan Indonesia. Mungkin itulah yang menjadi salah satu penyebab mengapa orang Indonesia lebih suka sekolah di luar negeri sedangkan dulu orang-orang dari luar negeri terutama negara tetangga malah ingin belajar di Indonesia. Begitu banyak tanggapan yang dilontarkan orang di media masa ketika berita kematian salah seorang praja bernama Cliff Muntu mencuat ke permukaan. Kebanyakan tanggapan-tanggapan tersebut bernada geram, memberi kita suatu kesimpulan “mengapa harus terjadi lagi?” Ternyata perubahan nama dari STPDN menjadi IPDN tidak memberikan arti apa-apa. Karena, mungkin, sudah menjadi kebiasaan orang Indonesia kalau nama seseorang dianggap tidak baik, kurang memberi hoki, terus sial, dan lain sebagainya, maka harus segera diganti dengan nama lain.
Kemudian muncul juga gosip-gosip yang simpang-siur tapi cukup menarik untuk disimak. Ada yang mengatakan penganiayaan di IPDN sering terjadi karena perintah dosen kepada praja senior di sana apabila ada junior mereka tidak mau memberikan uang kepada dosen yang bersangkutan saat dia diterima menjadi praja. Pantas baru beberapa tahun jadi dosen IPDN sudah bisa membangun rumah senilai satu milyar, kata salah seorang dosen sebuah unversitas negeri yang telah mengabdi puluhan tahun dan masih tinggal di kompleks perumahan dosen (rumah dinas tentunya). Ada lagi yang mengatakan penganiayaan merupakan aksi balas dendam antara senior dan juniornya karena pada akhirnya praja junior akan menjadi senior dan bisa menganiaya junior berikutnya. Yang lain mengatakan di IPDN tersebut sudah terbentuk seperti tingkatan kepemimpinan di daerah mulai dari Gubernur (Rektor), Bupati (Dosen), Camat (semacam Ketua BEM) dan Lurah/Kepala Desa (Praja). Nah, ditingkat terbawah ini yang sering terjadi perebutan kekuasaan sebab setiap praja dari satu provinsi punya satu lurah/kepala desa. Siapa yang kuat dan ditakuti maka akan mudah menjadi lurah/kepala desa. Lalu bisa ditebak sang lurah/kepala desa akan mudah berbuat seenaknya kepada warga (praja biasa).
Beruntung (budaya untung orang Indonesia) respon pemerintah yaitu Bapak Presiden melalui Menteri Dalam Negeri mengeluaran surat pembekuan sementara IPDN. Tidak ada penerimaan praja baru selama satu tahun dan akan dilakukan pembenahan secara menyeluruh sampai waktu yang belum ditentukan. Pokoknya sampai beres, begitulah intinya.
Harapan masyarakat tentu sangat besar agar pembenahan yang dilakukan benar-benar dilakukan. Jangan sampai masyarakat ‘ingin pipis’ melihat adegan dunia pendidikan kita. Kalau ada bagian tubuh yang sudah tidak bisa lagi disembuhkan, infeksi, membusuk, jangan segan-segan, amputasi saja Pak!