Tuesday, June 5, 2007

May, Sebuah Harapan

“May, Sebuah Harapan”

Adakah alasan bagi saya untuk tidak berbahagia di dunia ini ?
Tidak ada.
Saya hidup karena saya terpilih untuk menjalani kehidupan ini dan itu adalah sebuah kehormatan. Karena hidup adalah sebuah anugrah, tidak ada alasan apapun bagi saya untuk bersungut-sungut dan bermuram durja. Saya akan berbahagia dan akan terus berbahagia, sebab segala sesuatu –entah baik atau buruk- diberikan dalam hidup saya untuk dinikmati.
(Lentera)

Sambut pagi dengan senyuman paling manis. Seperti biasanya “bismillah tawakkal tu Allallah” melangkahkan kaki ke kantoran. Menikmati pekerjaan dengan hati seluas samudera, setenang ombak kalau lagi gak ngamuk, he…he.

Selesai apel pagi, tanda tangan absen, saya langsung menuju ruangan pribadi (ruang tempat saya kerja maksudnya). Ruangan paling berkesan di kantor ini, tempat saya berkencan sepanjang hari dengan pacar saya yang paling setia “komputer”. Pada awalnya kedekatan saya dengan benda yang satu ini berawal dari tuntutan pekerjaan. Lama kelamaan bukan lagi tuntan pekerjaan akan tetapi sebuah kebutuhan untuk selalu dekat.

Belum berapa lama saya beranjak, tiba-tiba ada yang memanggil nama saya. Suara khas dari seorang rekan kerja, bapak usia 40 tahunan. Saya biasa memanggilnya Pak Asman, orangnya suka sharing terutama tentang anaknya yang satu universitas dengan saya. Dan, saya sudah menganggap beliau orang tua saya di Rantauprapat ini.

“Katanya, Mei undangan tersebar. Mei tinggal beberapa hari lagi. Kapan undangannya Vin ?” tanya Pak Asman senyam senyum.

Saya mengernyitkan dahi mendengarnya. “Undangan apa ?” tanya saya dalam hati.

“Semalam ditanya kapan, katanya Mei” sambung bu Asri

Astaghfirullahal adzim, saya langsung menepuk jidat. Mengingat gurauan beberapa bulan yang lalu. Saat itu diamanahi menyebarkan undangan di kantor. Namanya amanah, langsung saja dibagi-bagikan kepada yang bersangkutan. Jadi karena saya yang membagikan, para rekan kerja menduga undangan itu milik saya.

“Bapak kira tadi undangan kamu, Vin. Rupanya bukan” komentar Pak Masri.

Pak Khairul tak mau kalah. “Undangan orang kamu sebar, trus kapan undanganmu ?” tanya Pak Khairul.

Saya hanya tersenyum, senjata paling ampuh untuk mengalahkan semua ledekan termanis yang pernah kudengar. Begitu saya mengartikannya.

“Iya, kapan ?......” koor rekan-rekan yang lain.

“May” jawab saya singkat. Latah Ringgo, seperti iklan rokok, lagi trend pada masa itu khusus buat para lajanger.

“Mei ?????” kembali semua ber-koor-ria tanpa komando.

“Ya, May be tahun ini, may be tahun muka, may be tahun mukanya lagi atau may be di akhirat”. Kata-kata yang meluncur dengan santainya dari mulut saya beberapa bulan lalu. Walaupun hanya sekedar gurauan untuk bahan ketawaan. Ternyata masih ada yang mengingatnya. Saya sendiri yang mengucapkan kata-kata itu sudah lupa. Tapi………..

Kata-kata itu menjadi boomerang, senjata makan tuan. Kapok deng !. Aseli gak mau lagi pake senjata apapun, kecuali satu senjata “senyuman”. Menanggapi segala pertanyaan dengan senyuman. "Just smile". Aman untuk sementara waktu. Kok aman ?, setidaknya gak diledekin terus.
Ketika pertanyaan itu muncul kepermukaan, orang pertama yang dicari tentu para lajanger, salah satunya saya. Mereka tak pernah bosan nanya-nanya, kapan dan kapan. Padahal kalau dipikir-pikir siapa sich yang mau menghabiskan sisa hidup dengan kesendirian berteman sepi. Hanya saja para lajanger di kantor ini masih harus bersabar dan bersabar menunggu datangnya yang dinanti.

Pernah satu ketika, salah satu dari kami sempat marah-marah dan saling diam-diaman beberapa waktu gara-gara “hanya ditanya kapan ?” oleh salah seorang rekan kerja. Sejak kejadian itu beliau tak pernah berani lagi melontarkan pertanyaan “kapan”.

Lain orang, lain persepsi dan lain pula dalam menanggapi “kapan”.

Saya sendiri tak pernah terlalu pusing dengan semua itu. Walaupun hampir tiap hari disuguhi “kapan” . Ya anggap saja sebagai satu motivasi untuk menyegerakan. Mungkin semua sikap mereka itu adalah satu bentuk kasih sayang terhadap para lajanger, mengingatkan satu hal penting yang hampir terlupakan dan mengejar karir bukanlah segalanya.

Cerita di atas mengingatkan saya sebuah tulisan dalam buku yang pernah saya baca. “Menikahkan orang-orang yang masih sendirian adalah tanggung jawab sosial lingkungan tempat tinggalnya terutama lingkungan keluarga besarnya”. Pernyataan ini sejalan dengan QS. An Nuur (24) : 32 “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu”.

Apa yang diperbuat rekan-rekan kerja di kantor, mungkin telah melaksanakan tanggung jawab sosial itu tanpa sengaja maupun sengaja. Toh, tujuannya untuk kebaikan.

Jadi untuk para lajanger berbesar hatilah menghadapinya, anggap saja sebagai motivasi untuk menyegerakan dan semoga pertanyaan yang diawali dengan “kapan” itu menjadi sebuah doa. Dan, tak perlu marah-marah apalagi diam-diaman, bersabar dan bersabar. Jalan hidup masih panjang tataplah dengan senyuman, karena hidup adalah sebuah anugrah untuk dinikmati.

Rantauprapat, dua hari menjelang berakhirnya bulan Mei
Vina Regar

No comments: