Friday, August 17, 2007

INGIN PIPIS DULU NAK !

INGIN PIPIS DULU NAK!
(CATATAN TERAS RUMAH)

Suatu pagi di sebuah kampung sekelompok ibu-ibu berkerumun sedang belanja sayur sambil ngobrol seru, nampaknya wajah mereka sangat serius. Asyik sekali, pikir saya. Pasti sedang menggosipkan artis sinetron.
Namun kalau diperhatikan dengan lebih seksama, dari raut muka mereka tampak kesal sekali. Diam-diam saya mendekat. Bukan bermaksud menguping tetapi penasaran saja dengan tema yang sedang mereka bicarakan.
Ternyata mereka sedang ngobrol tentang tayangan berita sebuah stasiun TV tentang kasus penganiayaan di IPDN. Berikut sedikit petikan pembicaraan seru dan meledak-ledak yang bisa saya rekam dari para "pengamat berita" ini.
"Tuh kan apa gue bilang IPDN itu, Institut Penganiayaan Dalam Negeri! Masa anak orang dihabisin hanya gara-gara telat datang ke acara yang nggak jelas, dasar gak tau diri!"
"Bukan Nyak tapi IPDN itu, Institut Pembantaian Dalam Negeri!" Sahut ibu penjual sayur tak mau kalah.
"Kalo menurut saya sih masih jadi pelajar aja udah kayak gitu, ntar kalo udah jadi pejabat pasti jadi diktator. Makanya IPDN itu cocoknya Institut Pengkaderan Diktator Negara!" Seru ibu yang sedari tadi membolak-balikan sayur bayam.
"Betul juga Jeng Neni tapi gue paling gak suka sama kelakuan mereka yang suka maen keroyok kalo berani kenapa nggak satu lawan satu tuh kayak di pilem koboi makanya dinamain aja Institut Paling Demen Ngeroyok!" Seru ibu gendut itu gemas sambil membanting labu siam diantara sayuran yang makin berserakan.
"Iya betul tuh sekalian aja dinamain Ikatan Praja Doyan Nonjok!" Sambar bu RT sambil bersungut-sungut. "IPDN, Injak Pukul Dorong. Nah, mati!” Celetuk ibu bertubuh kerempeng itu sambil praktekkan gaya silatnya.
"Inginnya Pendidikan Dapetnya Nisan nah itulah IPDN kasihan orang tua yang udah susah payah kirim anaknya kesana pulang-pulang bikin batu nisan," tukas Bu Neni makin kesal.
"Yang kayak gini nih pasti kerjaan para pejabat yang gak punya tanggung jawab dan wawasan kebangsaan, mestinya kan mereka sebagai pengontrol dan pengawas tetapi kenapa korban udah berjatuhan kayak gini kok didiemin aja dari dulu, kayaknya sih sengaja biar budaya pejabat junior harus takut dengan senior tetap hidup, kan ntar gampang diajak kongkalikong kali ya? Namanya juga IPDN, Ideologi Pejabat Durjana Negara,” sahut ibu setengah baya berkerudung itu.
"Yah IPDN, Inilah Pendidikan Dalam Negeri kita. Pantas aja korupsi nggak habis-habis wong mentalnya aja udah kayak mafia."
Tiba-tiba nenek tua yang sedari tadi diam saja tergopoh-gopoh keluar dari kerumunan menuju kearah rumah bu RT, sambil iseng saya pun bertanya, "Nek kalo menurut nenek IPDN itu apa?"
Nenek itu melotot kesal kearahku sambil berteriak, "Ingin Pipis Dulu Nak!"
Ups! Mungkin nenek tersebut di atas tidak tahu apa makna kata-katanya saat suatu kejadian yang sedang hangat tersebut dibicarakan. Kalau ingin pipis yah karena memang pada saat itu sang nenek sedang kebelet pipis. Tapi pipis atau buang air kecil bisa diartikan dari beberapa segi. Dari segi kesehatan hal tersebut merupakan proses metabolisme tubuh yang wajar sementara dari segi psikis, pipis bisa terjadi karena rasa takut dan was-was yang berlebihan yang dalam hal ini takut pada dunia pendidikan kita dan was-was bagaimana masa depan dunia pendidikan kita nantinya.
Sebuah refleksi yang boleh jadi menyudutkan untuk dunia pendidikan Indonesia. Mungkin itulah yang menjadi salah satu penyebab mengapa orang Indonesia lebih suka sekolah di luar negeri sedangkan dulu orang-orang dari luar negeri terutama negara tetangga malah ingin belajar di Indonesia. Begitu banyak tanggapan yang dilontarkan orang di media masa ketika berita kematian salah seorang praja bernama Cliff Muntu mencuat ke permukaan. Kebanyakan tanggapan-tanggapan tersebut bernada geram, memberi kita suatu kesimpulan “mengapa harus terjadi lagi?” Ternyata perubahan nama dari STPDN menjadi IPDN tidak memberikan arti apa-apa. Karena, mungkin, sudah menjadi kebiasaan orang Indonesia kalau nama seseorang dianggap tidak baik, kurang memberi hoki, terus sial, dan lain sebagainya, maka harus segera diganti dengan nama lain.
Kemudian muncul juga gosip-gosip yang simpang-siur tapi cukup menarik untuk disimak. Ada yang mengatakan penganiayaan di IPDN sering terjadi karena perintah dosen kepada praja senior di sana apabila ada junior mereka tidak mau memberikan uang kepada dosen yang bersangkutan saat dia diterima menjadi praja. Pantas baru beberapa tahun jadi dosen IPDN sudah bisa membangun rumah senilai satu milyar, kata salah seorang dosen sebuah unversitas negeri yang telah mengabdi puluhan tahun dan masih tinggal di kompleks perumahan dosen (rumah dinas tentunya). Ada lagi yang mengatakan penganiayaan merupakan aksi balas dendam antara senior dan juniornya karena pada akhirnya praja junior akan menjadi senior dan bisa menganiaya junior berikutnya. Yang lain mengatakan di IPDN tersebut sudah terbentuk seperti tingkatan kepemimpinan di daerah mulai dari Gubernur (Rektor), Bupati (Dosen), Camat (semacam Ketua BEM) dan Lurah/Kepala Desa (Praja). Nah, ditingkat terbawah ini yang sering terjadi perebutan kekuasaan sebab setiap praja dari satu provinsi punya satu lurah/kepala desa. Siapa yang kuat dan ditakuti maka akan mudah menjadi lurah/kepala desa. Lalu bisa ditebak sang lurah/kepala desa akan mudah berbuat seenaknya kepada warga (praja biasa).
Beruntung (budaya untung orang Indonesia) respon pemerintah yaitu Bapak Presiden melalui Menteri Dalam Negeri mengeluaran surat pembekuan sementara IPDN. Tidak ada penerimaan praja baru selama satu tahun dan akan dilakukan pembenahan secara menyeluruh sampai waktu yang belum ditentukan. Pokoknya sampai beres, begitulah intinya.
Harapan masyarakat tentu sangat besar agar pembenahan yang dilakukan benar-benar dilakukan. Jangan sampai masyarakat ‘ingin pipis’ melihat adegan dunia pendidikan kita. Kalau ada bagian tubuh yang sudah tidak bisa lagi disembuhkan, infeksi, membusuk, jangan segan-segan, amputasi saja Pak!

Tuesday, June 5, 2007

“17 Hari, Ga Posting”

Demi masa
Sesungguhnya manusia kerugian
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran
QS. Al Ashr (103) : 1-3

Sekian hari ga main ke warnet, kangen berat juga. Jadwal tiap minggu ke warnet semenjak pertengahan Mei macet total. Gara-gara si komo lewat, eh.. gak cuma lagi sibuk aza. Sibuk liburan, asyik menikmati kebersamaan. Pulang kampung, silaturrahmi ke beberapa handai taulan de el el. Trus banyak kerjaan lainnya, terutama nyari bahan mau ikutan lomba cerpen.

Bahan-bahan postingan sudah “basbang” basi bangeet kalau mau diposting lagi. Ibarat makanan, sudah basi masih disuguhin di meja makan, siapa yang mau makan. Sama juga halnya dengan postingan, sudah basbang gitu masih di up date. Visiters malas baca jadinya. Kayak gak punya bahan baru aza mau diposting. Tapi tak masalah, selagi bisa disarrangement ulang hasilnya akan lebih wah. Seperti lagu lama jika sudah di a.u (arrangement ulang) dilempar ke pasaran malah tambah laris manis dari sebelumnya. Contohnya banyak.

Akhir-akhir ini, saya merasa seperti orang yang sangat merugi. Kenapa ?. Ya itu tadi, pekerjaan banyak yang terbengkalai, jadwal semuanya mundur, target tak pernah tercapai dan yang paling parah disiplinku lagi drop banget. Jadi malu…. Jangankan hari ini bisa lebih baik dari hari kemarin, hari kemarin-kemarin itu jauh lebih baik dari kemarin yang barusan lewat.

Yah, terkadang hidup ini memiliki pasang surut. Semangat untuk berkarya drop sampai ke level terendah lagi patah semangat. Trus, bagaimana cara mengembalikan semangat itu ke level tertinggi ?. “Harus ada pengingat”

Kalau dulu selagi saya masih tinggal bersama orang tua merekalah yang jadi “pengingat”. Misalnya saya terlalu asyik nonton TV, biasanya ibu akan berkomentar “Kerjakan tugas yang lain jangan nonton terus”. Atau ketika saya tenggelam menyelam dalam buku dan lupa waktu kalau sudah tengah malam. Disini tugas ayah yang mengingatkan, “Istirahat, masih ada hari esok. Mata juga butuh istirahat”.

Sekarang situasinya sudah berbeda. Atas nama “ingin mandiri” segala sesuatu tanggung sendiri. Termasuk mengingatkan diri sendiri, jangan sampai merugi dalam pemanfaatan waktu. Minimal seri, maksudnya gak rugi juga gak untung. Bagusnya sich jadi yang beruntung.

Kembali ke masalah “pengingat”, disaat saya drop atau lagi patah semangat biasanya saya akan sering membaca QS. Al Ashr. Memahami maknanya dan menasehati diri saya sendiri. Dan, satu lagi, dinding kamar kos saya tempeli dengan kata-kata penyemangat yang dapat memicu tumbuhnya semangat baru. Dari sekian kata-kata yang tertera, saya sangat menyukai kata-kata yang sengaja saya kutif dari websitenya Ust. Satria Hadi Lubis, MM “Just do it ! No reasonable !” Lakukan ! Jangan banyak alasan !. Kalimatnya terkesan kejam tapi untuk maju, diri itu perlu dipicu dengan kata-kata yang bernilai positif. Pembagian waktu seefektif dan seefisien mungkin kalau tak ingin merugi.

Setiap makhluk masing-masing dianugrahi 24 jam sehari semalam. Mulai dari pengangguran hingga bisnisman, anak-anak hingga orang tua. Semuanya diberi jatah yang sama, 24 jam. Kenapa ada yang bisa sukses dan ada juga yang gagal ?. Jawabannya adalah “pemanfaatan waktu”.

Mulai sekarang, saya, anda dan kita semua marilah belajar memanfaatkan waktu yang masih tersisa. Jangan sampai kita menjadi orang-orang yang merugi. Saya bukan untuk menggurui karena saya bukan seorang guru tapi saya adalah orang yang merasa punya tanggung jawab untuk saling mengingatkan terutama mengingatkan diri saya sendiri. Untuk kembali mendisiplinkan diri, kembali ke peta kehidupan awal yaitu berkarya, berkarya dan terus berkarya.

Lagi memperbaiki diri dalam "Bengkel Hati"

Rantauprapat, 020607
Vina Regar

May, Sebuah Harapan

“May, Sebuah Harapan”

Adakah alasan bagi saya untuk tidak berbahagia di dunia ini ?
Tidak ada.
Saya hidup karena saya terpilih untuk menjalani kehidupan ini dan itu adalah sebuah kehormatan. Karena hidup adalah sebuah anugrah, tidak ada alasan apapun bagi saya untuk bersungut-sungut dan bermuram durja. Saya akan berbahagia dan akan terus berbahagia, sebab segala sesuatu –entah baik atau buruk- diberikan dalam hidup saya untuk dinikmati.
(Lentera)

Sambut pagi dengan senyuman paling manis. Seperti biasanya “bismillah tawakkal tu Allallah” melangkahkan kaki ke kantoran. Menikmati pekerjaan dengan hati seluas samudera, setenang ombak kalau lagi gak ngamuk, he…he.

Selesai apel pagi, tanda tangan absen, saya langsung menuju ruangan pribadi (ruang tempat saya kerja maksudnya). Ruangan paling berkesan di kantor ini, tempat saya berkencan sepanjang hari dengan pacar saya yang paling setia “komputer”. Pada awalnya kedekatan saya dengan benda yang satu ini berawal dari tuntutan pekerjaan. Lama kelamaan bukan lagi tuntan pekerjaan akan tetapi sebuah kebutuhan untuk selalu dekat.

Belum berapa lama saya beranjak, tiba-tiba ada yang memanggil nama saya. Suara khas dari seorang rekan kerja, bapak usia 40 tahunan. Saya biasa memanggilnya Pak Asman, orangnya suka sharing terutama tentang anaknya yang satu universitas dengan saya. Dan, saya sudah menganggap beliau orang tua saya di Rantauprapat ini.

“Katanya, Mei undangan tersebar. Mei tinggal beberapa hari lagi. Kapan undangannya Vin ?” tanya Pak Asman senyam senyum.

Saya mengernyitkan dahi mendengarnya. “Undangan apa ?” tanya saya dalam hati.

“Semalam ditanya kapan, katanya Mei” sambung bu Asri

Astaghfirullahal adzim, saya langsung menepuk jidat. Mengingat gurauan beberapa bulan yang lalu. Saat itu diamanahi menyebarkan undangan di kantor. Namanya amanah, langsung saja dibagi-bagikan kepada yang bersangkutan. Jadi karena saya yang membagikan, para rekan kerja menduga undangan itu milik saya.

“Bapak kira tadi undangan kamu, Vin. Rupanya bukan” komentar Pak Masri.

Pak Khairul tak mau kalah. “Undangan orang kamu sebar, trus kapan undanganmu ?” tanya Pak Khairul.

Saya hanya tersenyum, senjata paling ampuh untuk mengalahkan semua ledekan termanis yang pernah kudengar. Begitu saya mengartikannya.

“Iya, kapan ?......” koor rekan-rekan yang lain.

“May” jawab saya singkat. Latah Ringgo, seperti iklan rokok, lagi trend pada masa itu khusus buat para lajanger.

“Mei ?????” kembali semua ber-koor-ria tanpa komando.

“Ya, May be tahun ini, may be tahun muka, may be tahun mukanya lagi atau may be di akhirat”. Kata-kata yang meluncur dengan santainya dari mulut saya beberapa bulan lalu. Walaupun hanya sekedar gurauan untuk bahan ketawaan. Ternyata masih ada yang mengingatnya. Saya sendiri yang mengucapkan kata-kata itu sudah lupa. Tapi………..

Kata-kata itu menjadi boomerang, senjata makan tuan. Kapok deng !. Aseli gak mau lagi pake senjata apapun, kecuali satu senjata “senyuman”. Menanggapi segala pertanyaan dengan senyuman. "Just smile". Aman untuk sementara waktu. Kok aman ?, setidaknya gak diledekin terus.
Ketika pertanyaan itu muncul kepermukaan, orang pertama yang dicari tentu para lajanger, salah satunya saya. Mereka tak pernah bosan nanya-nanya, kapan dan kapan. Padahal kalau dipikir-pikir siapa sich yang mau menghabiskan sisa hidup dengan kesendirian berteman sepi. Hanya saja para lajanger di kantor ini masih harus bersabar dan bersabar menunggu datangnya yang dinanti.

Pernah satu ketika, salah satu dari kami sempat marah-marah dan saling diam-diaman beberapa waktu gara-gara “hanya ditanya kapan ?” oleh salah seorang rekan kerja. Sejak kejadian itu beliau tak pernah berani lagi melontarkan pertanyaan “kapan”.

Lain orang, lain persepsi dan lain pula dalam menanggapi “kapan”.

Saya sendiri tak pernah terlalu pusing dengan semua itu. Walaupun hampir tiap hari disuguhi “kapan” . Ya anggap saja sebagai satu motivasi untuk menyegerakan. Mungkin semua sikap mereka itu adalah satu bentuk kasih sayang terhadap para lajanger, mengingatkan satu hal penting yang hampir terlupakan dan mengejar karir bukanlah segalanya.

Cerita di atas mengingatkan saya sebuah tulisan dalam buku yang pernah saya baca. “Menikahkan orang-orang yang masih sendirian adalah tanggung jawab sosial lingkungan tempat tinggalnya terutama lingkungan keluarga besarnya”. Pernyataan ini sejalan dengan QS. An Nuur (24) : 32 “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu”.

Apa yang diperbuat rekan-rekan kerja di kantor, mungkin telah melaksanakan tanggung jawab sosial itu tanpa sengaja maupun sengaja. Toh, tujuannya untuk kebaikan.

Jadi untuk para lajanger berbesar hatilah menghadapinya, anggap saja sebagai motivasi untuk menyegerakan dan semoga pertanyaan yang diawali dengan “kapan” itu menjadi sebuah doa. Dan, tak perlu marah-marah apalagi diam-diaman, bersabar dan bersabar. Jalan hidup masih panjang tataplah dengan senyuman, karena hidup adalah sebuah anugrah untuk dinikmati.

Rantauprapat, dua hari menjelang berakhirnya bulan Mei
Vina Regar

Thursday, May 31, 2007

DICIPLINE (INDONESIAN LAGUANGE)

DISIPLIN

Sukses adalah hasil dari berbagai aspek seperti kerja keras, kepandaian, rencana dan pelaksanaan yang hati-hati, serta - sedikit keberuntungan. Disamping itu, sukses juga ditentukan oleh displin atau tidaknya seseorang meraih segala sesuatu dan 'meletakkan sesuatu di tempat yang layak’.

Tanpa disiplin, seseorang tak akan mampu menyelesaikan segala apa yang telah direncanakannya. Kemampuan melakukan sebuah strategi secara berkesinambungan untuk meraih tujuan akan sulit terwujud jika tidak punya disiplin. Disiplinlah yang membuat kita berada on track, tak peduli seberapa berat masalah yang dihadapi. Orang yang disiplin tahu apa saja yang perlu dilakukan dan berfokus pada hal itu. Perilaku ini lebih terlihat mencolok pada orang dewasa yang dari kecil telah menerapkannya daripada orang dewasa yang tidak pernah menerapkan prilaku ini.

Disilpin juga jangan salah diartikan sebagai kumpulan aktifitas yang kaku dan keras. Jadikan disiplin sebagai prilaku alami yang tidak membutuhkan sanksi/penalti apabila suatu kali seseorang lupa melaksanakannya. Karena apabila hal tersebut diterapkan maka yang muncul justru rasa antipati.

  1. Dimulai Pagi Hari.

Sebetulnya, disiplin tidak usah dibicarakan terlalu muluk. Secara sederhana, sejak pagi dimulai, kedisiplinan tanpa sadar sudah menyertai. Bangun pukul sekian, mandi, kemudian berangkat dari rumah, adalah contoh kecil tentang disiplin. Banyak orang sukses akan setuju bila faktor disiplin disertakan sebagai salah satu resep keberhasilan mereka. Bila kita bangun dengan kaki yang salah misalnya, sebagai akibatnya kita merasa tidak enak badan, bisa dipastikan bahwa hari itu kita akan lebih tidak produktif ketimbang hari-hari di mana segala sesuatunya berjalan lancar. Kiat penting untuk mengoptimalkan pagi hari adalah dengan membuat semacam rutinitas kecil. Bangunlah di waktu-waktu yang sama - misalnya pukul 5 - 6 pagi (bukannya bisa bangun jam lima, bisa juga jam sepuluh pada hari lainnya), dan kerjakan hal-hal kecil yang efisien, seperti menyiapkan pakaian, atau memanaskan mobil, dan sebagainya. Jangan lupa pula sarapan pagi untuk memberi energi. Jangan sampai rezekimu hilang karena lebih dulu dipatok ayam, kata sebuah nasehat bijak. Artinya seseorang harus lebih cepat dari ayam dalam hal bangun pagi.

  1. Optimalkan Waktu Kerja

Disiplin tak terlepas dari optimalisasi waktu kerja. Kalau di waktu kerja kita cenderung bermalas-malasan, menunda pekerjaan dan sebangsanya, kapan kesuksesan itu bakal muncul? Singgah saja pun jangan-jangan tak sudi. Untuk itu, agar kedisiplinan kita berjalan teratur, buatlah daftar tugas setiap hari. Kita bisa membaginya dalam beberapa periode, tergantung dari rutinitas atau proyek yang sedang dikerjakan. Dengan menuliskan manajemen waktu, kita bisa membayangkan segala tujuan dan kemudian mengukur efisiensi kerja kita sendiri. Selain itu kita juga bisa tahu sebanyak apa kerja yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu proyek tertentu. Dengan melihat hasilnya, kita juga bisa tahu apakah target yang kita tentukan itu gagal atau tidak. Kalau gagal, apakah hal itu disebabkan rencana yang tidak layak atau karena terinterupsi oleh orang lain, atau karena kita sendiri yang tidak disiplin mengerjakan tugas sesuai jadwal.

3. Seberapa Lama Ketahanan Tubuh ?

Setiap orang tentu punya ketahanan tubuh yang berbeda-beda. Ada orang yang tahan bekerja di depan komputer sampai 8-10 jam, ada juga yang tidak. Ukurlah hal ini, lalu terapkan pada daftar tugas. Misalnya, kalau kita tahu bahwa kita cuma tahan bekerja selama lima jam saja atau kita sudah terlalu bosan di kantor, maka optimalkan saja kerja lima jam itu. Jam kerja lainnya kita isi dengan kegiatan yang menghibur. Sebab, kalau dipaksakan bekerja sampai 10 jam, misalnya, tapi hanya dengan 50% kapasitas kita, itu sama artinya cuma buang-buang waktu.

  1. Pikiran Sehat Terdapat Dalam Tubuh yang Sehat.

Ini sudah jelas. Dalam buku sekolah anak SD sudah ada sehingga tidak memerlukan penjelasan yang panjang. Bila kondisi fisik kita prima, kita juga akan bekerja lebih baik ketimbang ketika kita sakit. Karena itu jagalah selalu kesehatan.

  1. Seimbangkan Kerja dengan Hiburan

Catat bahwa kerja hanyalah satu bagian dalam hidup kita. Bila kita meninggalkan kantor maka tinggalkan semua masalah di kantor. Jangan bawa dalam pikiran kita, karena seharusnya bagian lain dalam hidup kita yang mengambil alih. Untuk itu cobalah berdisiplin untuk membagi segala sesuatunya dengan layak.

Sukses bukan cuma di karir saja, tapi dalam kehidupan pribadi kita sendiri. Di sinilah disiplin mengelola hidup kita akan memberikan hasil. Percayalah, hidup ini jauh lebih bermakna ketimbang sekadar mencari uang.

---***---